Apa yang dilakukan manusia
ketika sedang berkumpul bersama dengan manusia lainnya? Ketika bertemu atasan, acara
kumpul keluarga, bertemu teman, atau membahas gosip terbaru? Saling berbicara
bukan? Kita manusia tidak bisa hidup tanpa berbicara, karena manusia hidup
dalam dunia kata-kata. Komunikasi adalah salah satu kebutuhan manusia. Tidak
terhitung berapa sering komunikasi yang dilakukan manusia dalam sehari dengan
teman, pasangan, atasan, orang tua, dan lain-lain. Komunikasi tersebut bisa
dengan secara tatap muka, lewat telepon, maupun dengan media lain. Bahkan
pembicaraan ataupun komunikasi tersebut bisa saja menggunakan lebih dari satu
Bahasa.
Sebagai makhluk sosial, seorang
manusia membutuhkan manusia lain untuk berkomunikasi, manusia sangat tergantung
kepada bahasa untuk kehidupan sehari-hari. Semakin luas jangkauan jaringan sosial
seseorang, maka akan semakin sering juga komunikasi yang akan dilakukannya, dan
secara otomatis dituntut juga kemahiran berbahasa yang semakin baik. Mengapa
demikian? Karena lingkungan bahasa yang bervariasi akan menghasilkan bahasa
yang berragam pula. Untuk itu, perlu pemahaman aspek-aspek bahasa (linguistik)
yang baik supaya tidak terjadi kesalahpahaman saat menggunakan bahasa, sehingga
bahasa tersebut dapat menjadi media komunikasi yang efektif bagi penuturnya.
Komunikasi yang terjadi
antara 2 orang atau lebih disebut efektif jikalau kedua belah pihak sudah
memahami dengan baik pesan yang disampaikan. Ketika sebuah ujaran disampaikan
oleh A dan kepada B, maka B tidak saja akan mencoba untuk memahami makna dari
ujaran tersebut, namun B juga akan mencoba untuk memahami makna yang diinginkan
oleh A. Untuk memahami makna tersebut, maka A harus memahami konteks yang ada.
Namun, sekiranya A dan B tidak memahami konteks yang ada, maka komunikasi tersebut
tidak akan berjalan dengan efektif.
Berkaitan dengan hal di atas,
maka setiap orang perlu mempelajari pragmatik, sebuah bidang ilmu yang
mempelajari ujaran dengan konteksnya. Istilah pragmatik pertama kali
diperkenalkan oleh seorang filsuf yang bernama Charless Morris pada tahun 1938.
Dalam (Levinson, 1997:1), Morris menjelaskan bahwa semiotic (ilmu tanda)
memiliki tiga bidang kajian, yaitu sintaksis, semantik, dan pragmatik. Menurutnya,
pragmatik adalah kajian tentang hubungan tanda dengan orang yang menginterpretasikan
tanda tersebut.
Apa itu Pragmatik...???
Definisi dan batasan ilmu
pragmatik ini dikemukakan oleh banyak ahli. Diantaranya adalah menurut Geoffrey
Leech (1993:8), pragmatik adalah ilmu tentang maksud dalam hubungannya dengan
situasi-situasi tuturan (speech situation). Selanjutnya, menurut Cahyono
(1995:213), definisi pragmatik adalah cabang ilmu linguistik yang mempelajari
tentang makna dan yang dikehendaki oleh penutur. Sementara Kridalaksana
(1993:177) menyatakan bahwa pragmatik adalah ilmu yang menyelidiki pertuturan,
konteksnya, dan maknanya.
Dari beberapa definisi di
atas, terlihat bahwa pragmatik tidak dapat terlepas dari bahasa dan konteks,
sehingga dapat disimpulkan bahwa pragmatik adalah ilmu yang mengkaji tentang
kemampuan seorang penutur atau pengujar bahasa untuk dapat menyesuaikan antara
kalimat yang ia ucapkan dengan konteks yang ada, sehingga pesan yang ingin ia
sampaikan dapat tersampaikan dengan baik, dan komunikasi tersebutpun bisa
berjalan dengan efektif.
Maksud dimasukkannya konteks
sebagai salah satu aspek penting dalam berkomunikasi adalah supaya komunikasi
yang dilakukan oleh manusia dapat menjadi komunikasi yang efektif. Konteks ini
berkaitan erat dengan kebudayaan, yang tentu saja berbeda-beda. Topik
pembicaraan yang biasa menurut masyarakat Jakarta bisa jadi dianggap sebagai
pembicaraan yang tabu oleh masyarakat Padang, atau sebaliknya. Ilmu pragmatik
umum tidak bisa menjangkau sampai ke keragaman konteks yang diakibatkan oleh
perbedaan kebudayaan ini, dibutuhkan ilmu sosiopragmatik untuk mengkaji hal ini
lebih dalam.
Apa itu Sosiopragmatik...???
Leech (1983:10-11)
menggambarkan sosiopragmatik sebagai “sociological
interface of pragmatics” atau dengan kata lain pragmatik yang dibahas dari
sudut pandang sosiologi. Sosiopragmatik
tidak hanya fokus kepada bahasanya, tapi juga kepada lingkungan sosial yang
mendukung bahasa tersebut. Jadi, dengan kata lain, sosiopragmatik merupakan titik
temu antara sosiologi dan pragmatik.
Lebih lanjut lagi,
Subroto (2008) menyampaikan pandangannya bahwa sosiopragmatik adalah telaah
mengenai kondisi-kondisi setempat atau lokal yang lebih spesifik lagi mengenai
penggunaan bahasa. Sosiopragmatik sangat berhubungan erat dengan sosiologi,
karena faktor sosial seseorang (umur, suku, agama, jenis kelamin, pekerjaaan,
dan lain-lain) menjadi faktor penting yang mempengaruhinya ketika berbahasa.
Sementara menurut Rahardi
(dalam Revita, 2017: 3), sosiopragmatik merupakan bagian dari pragmatik,
sehingga pragmatik menjadi dasar dari sosiopragmatik. Pragmatik mengkaji bahasa
berdasarkan konteks tempat dan waktu si pengguna bahasa, dan sosiopragmatik
menjadikan pragmatik sebagai dasar yang meninjau penggunaan bahasa berdasarkan
konteks tempat dan waktu dalam aspek sosial dan budaya tertentu.
Ruang Lingkup Sosiopragmatik
Seperti pendapat para
ahli di atas, dijelaskan bahwa sosiopragmatik sangat berkaitan dengan
pragmatik. Pragmatik merupakan dasar dari sosiopragmatik, sehingga ruang
lingkup pragmatik secara umum juga menjadi ruang lingkup sosiopragmatik. Selain
itu, sosiopragmatik juga berangkat dari sosiolinguistik, sehingga ruang lingkup
sosiopragmatik juga mencakup wilayah kajian sosiolinguistik secara umum. Jika sosiolinguistik
berdasarkan kepada sosiologi, maka tentu saja sosiolinguistik mengkaji hubungan
bahasa dengan struktur sosial, organisasi kemasyarakatan, dan tingkah laku
masyarakat. Sementara pragmatik mempelajari maksud atau makna yang terkandung
dalam tuturan bahasa. Sosiopragmatik menggabungkan kedua kajian (sosiolinguistik
dan pragmatik) ini, tentu saja sosiopragmatik akan mempelajari gabungan kedua ilmu
tersebut, yaitu mengkaji maksud tuturan bahasa tertentu dengan memperhatikan
aspek masyarakat bahasa tersebut (Revita, 2013: 4-5)
Terlihat sangat jelas bahwa sosiopragmatik adalah ilmu yang tidak dapat berdiri sendiri, ia tidak dapat mengkaji sebuah masalah kebahasaan tanpa ada bantuan dari ilmu lain. Ilmu-ilmu yang menyokong sosiopragmatik adalah ilmu sosiolinguistik yang terdiri dari sosiologi dan linguistic, serta ilmu pragmatik. Hubungan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
![]() |
Hubungan antara Sosiopragmatik dan ilmu-ilmu penunjangnya |
Semua ilmu yang tergabung
dalam sosiopragmatik tersebut, harus bergerak secarra bersama-sama, sehingga
sosiopragmatik bisa terbentuk secara utuh. Dengan demikian, sesuai dengan yang disimpulkan
oleh Revita (2013: 8) bahwa “Di dalam sosiopragmatik dikaji penggunaan bahasa
pada masyarakat. Kajian tersebut terkait dengan masyarakat sebagai pengguna
bahasa dan aspek sosial yang ada pada masyarakat tersebut.”
REFERENSI
Abdurrahman. 2006. “Pragmatik;
Konsep Dasar Memahami Konteks Tuturan” dalam Jurnal Lingua Vol.1 No.2 (2006). Malang: Universitas Islam Negeri
Malang.
Prayitno, Harun Joko. 2017. Studi Sosiopragmatik. Surakarta:
Muhammadiyah University Press.
Rahardi, Kunjana. 2009. Sosiopragmatik; Kajian Imperatif dalam Wadah
Konteks Sosiokultural dan Konteks Situasionalnya. Yogyakarta: Penerbit
Erlangga.
Revita, Ike. 2017. Sosiopragmatik,
Teori dan Praktik. Padang: Penerbit Erka.
Subandowo, Dedi. Kesopanan Berbahasa dan Tindak Tutur; Sebuah
Kajian Sosiopragmatik. Lampung: Penerbit Laduny
No comments:
Post a Comment